Ngabuburit di Pekojan, Kampungnya orang Arab bersama MuSeJa

Pada sore yang cerah 23 September’07 aku dan 6 orang temanku (wenny, tari, rahma, astrid, dian dan tika) ikutan ngabuburit bareng Museum Sejarah Jakarta. Kita menelusuri kawasan bersejarah di Pekojan yang terletak di sebelah barat luar tembok kota Batavia (Jakarta Barat). Dalam sejarahnya memang tidak ada masjid yang terletak di dalam tembok kota Batavia, setelah J.P Coen membumihanguskan Jayakarta. Semua penduduk pribumi dari tempat ibadah berada di luar kota (Ommelanderi). Kunjungan kali ini, sekaligus mengisi waktu sambil menunggu berbuka puasa (ngabuburit).


Kenapa namanya Pekojan?

Menurut beberapa literatur, nama Pekojan berasal dari kata Khoja atau Kaja yang berasal dari suatu nama daerah di India yang sebagian masyarakatnya bermata pencaharian pedagang/saudagar dan beragama Islam. Biasanya para saudagar, selain berdagang mereka juga menyebarkan agama Islam di daerah ini. Menurut Prof, van de Berg dalam bukunya "Hadramaut dan koloni Arab di Nusantara" menyebutkan bahwa Pekojan sebelum dihuni oleh etnis Arab dari Hadramaut terlebih dahulu menjadi kediaman orang-orang Bengaii/Koja dari India. Salah satu kebijakan VOC (Verenigde Oosi Indische Compagnie) terhadap etnis yang -ada di Batavia adalah menempatkan mereka pada daerah tertentu berdasarkan etnisnya (Wijkstelsel). Selain itu juga VOC memperlakukan politik Pusensielsel, ketika pergi ke suatu tempat di Batavia. Dengan sistem ini penduduk Pekojan yang akan ke tempat lain harus rnembawa kartu pas jalan. Maka, sekarang ini kita kenal adanya kampung Melayu, Bali, Sunda. Jawa dan Iain-Iain. Ketika itu di Pekojan hanya terdapat beberapa orang Tionghoa, namun sekarang ini keadaannya sangat terbalik, kini mayoritas penduduknya berasai dari otnis Tionghoa.
Salah satu masjid peninggalan vvarga Koja yang terletak di Pekojan adalah masjid Al Anshor. Masjid yang pada awalnya hanya sebuah surau ini dibangun tahun 1648 M. Di beiakang masjid ini terdapat tiga buah makam orang India yang kemungkinan pendiri masjid tersebut. Namun kini banyak warga keturunan India yang menetap di Pasar Bam dan rnembuka toko tekstil serta alat-alat olah raga.


Jami'atul Khair

Pada awal abad ke-20 di Pekojan berdiri sebuah madrasah Jamiatul khair (perkumpulan kebaikan) yang didirikan pada tahun 1901. Organisasi ini dibentuk oleh All dan Idrus, keduanya dari keluarga Shahab. Perkumpulan ini menimbulkan simpati dari tokoh-tokoh Islam seperti, KH Ahmad Dahlan (pendiri Muhammadiyah), HOS Cokroaminoto (pendiri Syarikat Islam) dan H Agus Salim. Pada tahun 1903, Jamiatul Khair mengajukan permohonan untuk diakui sebagai organisasi, namun baru tahun 1905 permohonannya dikabulkan oleh pemerintah Hindia Belanda. Dari tempat inilah diperkirakan timbul ide para pemuda Islam kala itu untuk membentuk organisasi lainnya seperti organisasi Budi Utomo yang berdiri 1908. Jamiatul Khair banyak mendatangkan guru agama dari negara Islam dan juga menyebarkan surat kabar AI-Mu'yat dan majalah AI-Liwa berbahasa Arab yang menyebarkan paham Pan Islamisme di Batavia dan Nusantara. Tempat berdirinya Jamiatul Khair sekarang ini, kira-kira berada di jalan Pekojan II yang biasa disebut Masjid Ar Raudah.


Masjid Zawiah

Masjid yang kini tampak bagus dan kuat tersebut, dahulunya hanya merupakan (anggar kecil yang letaknya hanya 50 meter dari Masjid An Nawier. Masjid yang sekarang ini direnovasi total pada tahun 1980-an, sehingga kita tidak dapat melihat arsitektur aslinya. Masjid ini didirikan oleh Habib Ahmad bin Hamzah Alatas yang lahir di Tarim-Hadramaut. la mengajarkan kitab Fathul Mu'in sebuah kitab kuning yang hingga kini masih dijadikan rujukan pada kalangan kaum tradisional. Setiap bulan Ramadhan sekarang ini, banyak dikunjungi untuk shalat tarwih berjamaah dan pada hari ketiga Idul Fitri biasanya dijadikan tempat untuk silaturahmi keluarga Alatas. Sementara disamping kanan masjid ini terdapat rumah tua dengan gaya arsitektur Moor yang kini ditempati oleh keluarga Aljufri.



Masjid Ari-Nawier

Masjid An-Nawier adalah salah satu masjid terbesar bukan saja di Pekojan, tapi juga di Jakarta Barat yang menampung sekitar seribu jamaah. Masjid ini dibangun pada tahun 1760 M. Pada bagian belakang masjid terdapat makam Syarifah Fatmah binti Husein Alaydrus yang mendapat julukan 'Jide' (nenek kecil) yang hingga kini makamnya masih banyak diziarahi. Pada tahun 1850 masjid ini direhab oleh seorang komandan bernama Dahlan yang berasal dari Banten. Peningalan masjid tak hanya makam, tapi juga mimbar berukir di mihrab masjid adalah hadiah dari Sultan Pontianak yang diberikan pada abad ke-18. Masjid ini memiliki 33 tiang di ruangan shalat dan menara masjid yang menyerupai mercusuar yang merupakan keunikan masjid tersebut. Menara setinggi 17 meter tersebut berperan dalam perang kemerdekaan untuk "persembunyian" para pejuang. Dari menara ini kita dapat melihat pemandangan yang lain kota Jakarta.


Jembatan Kambing

Salah satu daerah yang cukup menarik di daerah ini adalah terdapat sebuah jembatan yang diberi nama oleh warga setempat dengan nama "Jembatan Kambing" menurut warga Pekojan kambing-kambing yang akan dibawa ke tempat pejagalan untuk dipotong terlebih dahulu melewati jembatan yang terletak di kali Angke itu. Hingga sekarang nama Pejagalan masih menjadi nama jalan di dekat Pekojan. Di kanan-kiri Jembatan Kambing hingga saat ini masih terdapat sejumlah warga keturunan Arab yang menjual daging kambing. Para pedagang ini sudah berdagang turun-temurun, ketika itu penduduknya masih didominasi oleh keturunan Arab yang umumnya senang daging kambing.


Masjid Langgar Tinggi

Masjid yang berada ditepi kali Angke ini, dibangun pada tahun 1829 dan dinamakan rnasjid Langgar Tinggi. Dinamakan demikian karena masjid ini berlantai dua dan ketika itu para pedagang yang sedang melewati kali Angke tersebut dapat langsung mengambil air wudhu di tempat ini. Memang kondisi air pada waktu itu sangat berbeda dengan sekarang ini yang berwarna hitam, bahkan ikan sapu-sapu pun engan hidup di sungai itu. Masjid ini dibangun oleh seorang kapiten Arab yang bernama Syekh Said Naum. Sebelum menjadi kapiten ia menjadi seorang pedagang yang cukup kaya di Palembang. Said Naum memberikan bantuan untuk perbaikan dan perluasan masjid Langgar Tingggi pada bulan November 1833 M. Pada waktu itu tiap Kamis malam diadakan pembacaan maulid Nabi serta pada malam ke 29 Ramadhan diadakan malam khatam Al Quran seperti kebiasaan di kota Tarim.

Selesai jalan ke mesjid-mesjid itu kita kembali lagi ke Museum Sejarah Jakarta untuk buka puasa bersama. It was Fun!


*Thanks to Mas Kartum, Mas Bams dan seluruh panitia



Komentar

  1. ooh Ayu ikutan ya , berapa orang jadinya yg ikut bener 100 orang ?

    BalasHapus
  2. yu kok ngak ngajak2 aku sih :P

    BalasHapus
  3. iya... katanya sih 100 orang, tapi kayanya ga sampe segitu deh..

    BalasHapus
  4. letak persisnya dimana ya?

    gw agak bingung dgn tembok batavia, dll...

    BalasHapus
  5. asemka sanaan dikit bry

    tapi sekarang dah ga jadi kampung arab lagi...

    BalasHapus
  6. pelajaran sejarah kita emang nge-bahas ginian yah, bang?

    *langsung buka2 buku..

    BalasHapus
  7. benarkah kalau tempat yang sekarang namanya KAUMAN itu dulunya bernama PEKOJAN?

    BalasHapus
  8. rumah tinggalku di pekojan di jadikan bahan sejarah rumah adat betawi.

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

i could never be your woman

Biar jadi rahasia kita

Belajar lagi